Di Balik Tren Parade dan Lomba Ogoh-ogoh Nyepi

2 weeks ago 3
ARTICLE AD BOX
DENPASAR, NusaBali 
Perayaan Nyepi setiap tahun di Bali bahkan luar Bali, selalu menghadirkan kisah baru dan menarik. Makin ngetren yakni parade dan pawai Ogoh-ogohnya yang kian eksotik. Maka Nyepi, terkhusus saat Pangrupukan makin jadi tantangan imajinasi nan subur bagi para seniman muda untuk berinovasi. 

Selain muncul dalang muda bahkan anak-anak, juga kreator Ogoh-ogoh yang amat mengagumkan. Nyoman Gede Sentana Putra atau akrab disapa Kedux, misalnya. Dia adalah seniman di balik ogoh-ogoh Banjar Tainsiat, Desa Adat Denpasar, dalam beberapa tahun terakhir. Namanya dikenal luas berkat bakatnya membuat ogoh-ogoh, menjadikannya salah satu seniman ogoh-ogoh teratas di Bali saat ini. 
 
Alhasil, setiap tahun, hasil akhir ogoh-ogoh Banjar Tainsiat selalu membuat penasaran penikmat seni. Namun, tahun ini ogoh-ogoh Banjar Tainsiat justru jadi kontroversi. Selain pengerjaan yang molor hingga tengah malam, pengarakan ogoh-ogoh bertajuk Bhuta Ngawesari berlangsung hingga pukul 04.00 dini hari, atau dua jam sebelum umat Hindu menjalankan Tapa Brata Penyepian menjadikannya menuai beragam kritik. 
 
Selain waktu pengarakan ogoh-ogoh yang terlalu mepet, kekecewaan masyarakat itu juga dipicu hasil karya pemuda Banjar Tainsiat yang dikomandoi Kedux sangat jauh di bawah harapan masyarakat. Menurut banyak pihak, secara estetis, ogoh-ogoh Banjar Tainsiat kali ini tidak layak dinanti hingga larut malam. 
 
Banyaknya kritik itu, Kedux dan Sekaa Teruna Yowana Saka Bhuwana (STYSB) Banjar Tainsiat pun menyampaikan permintaan maaf, bahkan resmi secara tertulis, atas karya mereka yang belum memenuhi ekspektasi masyarakat luas. 
 
"Kirang langkung, untuk ogoh-ogoh kali ini banyak sekali trouble-nya. Kami dari STYSB memohon maaf untuk karya kami di tahun ini yang kurang maksimal,” ujar Kedux usai berhasil menarikan Bhuta Ngawesari di titik nol Denpasar, Sabtu (29/3) dini hari. 
 
Punya karya seni yang banyak menuai kekecewaan, perlukah Kedux meminta maaf? 

Tidak sedikit yang berkomentar Kedux tidak perlu meminta maaf atas karya seni yang dibuatnya. Sebuah karya, apalagi karya seni, seyogyanya memang muncul ke permukaan untuk mengarungi arus kritik. Sebagai seniman, Kedux pastinya ingin menyampaikan idealisme yang melatarbelakangi ogoh-ogoh yang terinspirasi dari patung dwarapala penjaga tempat suci itu. 
 
"Buat apa bli harus minta maaf ini kan karya bli. Mau bagus atau tidak bagus ne penting bli berkarya dan membuat inovasi," komentar salah satu warganet pada postingan permintaan maaf Kedux di media sosial. 
 
"Rage sebenerne sing masalah ajak ogoh2 ne, cuma pedalem petugas kebersihane harus ngantiang ked jam 4 untuk ogoh2 terakhir tampil, bayangkan yee cuma ngelah waktu kurang dari 2 jam untuk kedas2 sebelum nyepi dimulai, onden biin isi mejalan mulih ke rumah masing2. Semoga dijadikan pelajaran untuk semua," warganet lainnya juga berkomentar. 
 
Warganet memang banyak yang menyayangkan parade ogoh-ogoh di kawasan Catur Muka Denpasar berlangsung hingga pukul 04.00 dini hari atau dua jam sebelum umat Hindu melaksanakan Catur Brata Penyepian. Namun, tidak adil rasanya mengkambinghitamkan satu ogoh-ogoh atas kejadian itu mengingat ada banyak ogoh-ogoh yang masih berparade pada dini hari itu. 
 
Pemerintah Kota Denpasar sendiri sudah menyatakan akan mengevaluasi pelaksanaan parade ogoh-ogoh di titik nol Denpasar tahun ini. Waktu parade yang molor hingga dini hari diharapkan tidak terulang lagi. Opsi pembatasan jumlah ogoh-ogoh yang boleh berparade di pusat Kota Denpasar pun mencuat. 
 
"Mungkin akan kami klasifikasi. Akan kami atur," kata Wakil Walikota Denpasar Kadek Agus Arya Wibawa. 
 
Menurut seniman Agung Bawantara, ogoh-ogoh harus kembali dilihat sebagai sebuah karya seni alih-alih karya teknis. Belakangan banyak kreator ogoh-ogoh yang justru terjebak dalam euforia mekanika, alih-alih menjadikan ogoh-ogoh sebagai ladang imajinasi. Mereka terlalu memuja teknologi seolah-olah gerakan robotik otomatis sudah cukup untuk menyihir penonton.
 
Padahal, kata Agung, mesin hanyalah hasil akhir dari imajinasi yang berhenti di titik presisi. Mesin berawal dari gagasan, dari keinginan untuk mengatasi keterbatasan tubuh manusia. Namun, ketika ia telah selesai dirakit, ia hanya akan mengulang dan mengulang gerakan yang sama, tanpa variasi rasa atau tafsir. Ogoh-ogoh, ujarnya, seharusnya melebihi keterbatasan itu. Bukan sekadar perayaan presisi melainkan perayaan imajinasi, baik bagi kreatornya maupun penontonnya.
 
Agung mengajak masyarakat untuk kembali mengagumi ogoh-ogoh sebagai sebuah karya seni. Menurutnya substansi utama dari sebuah ogoh-ogoh adalah imajinasi. Ketika mendongak ke arah karya seni raksasa, Agung berharap kita tenggelam dalam refleksi yang mencerahkan. 
 
"Penonton tidak berkata, 'Wow, mesinnya hebat,' tetapi berkata, 'Ada apa dengan makhluk ini? Apa yang ingin ia sampaikan?” ucap seniman film ini. 
 
Agung mengatakan, secara filosofis,  ogoh-ogoh adalah bagian dari ritus penyucian jagat. Ia adalah simbol perlawanan terhadap energi negatif yang bersarang dalam tubuh sosial dan spiritual manusia. Karena itu, ogoh-ogoh di masa depan bukannya tidak bisa mengadopsi teknologi, namun hanya menjadikannya sebagai instrumen bukan sebagai pusat perhatian.7 adi
Read Entire Article