ARTICLE AD BOX
Hal ini diungkapkan pengacara yang juga Direktur Eksekutif Berdikari Law Office tersebut saat menjadi pembicara di acara diskusi Nyapaht(alk) serangkaian HUT Ke-16 Komunitas Malu Dong Buang Sampah Sembarangan di Dharmanegara Alaya, Denpasar, Rabu (16/3/2025).
GPS menilai SE Gerakan Bali Bersih Sampah mengikari perundang-undangan. Sebab, di dalam SE tersebut terdapat sanksi apabila melanggar larangan yang juga terdapat di SE yang sama. Kata dia, SE tidak boleh memuat sanksi sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
“Secara undang-undang di SE itu ngomongin sanksi yang sebenarnya tidak boleh ada, saya siap debat soal itu. Mungkin bagus juga kalau ada Pokli Gubernur Bidang Hukum di sini, jadi diskusinya lebih tajam,” ungkap GPS di Ruang Audiovisual, Dharmanegara Alaya.
Politisi Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) kelahiran Singaraja, Buleleng ini menegaskan bahwa UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah standar pembuatan peraturan undang-undang RI. GPS mengklaim, SE, menurut UU ini tidak termasuk dalam rumpun peraturan perundang-undangan yang boleh memuat sanksi.
“Kalau SE dipakai mengikat apalagi menyanksi warga masyarakat itu salah. Makanya saya tetap bawa itu minuman botol (plastik) di bawah satu liter. Kalau saya ditangkap, saya gugat,” tegas GPS.
Eks Ketua Tim Strategis Pemenang Mulia-PAS ini menjelaskan bahwa jurnal-jurnal ilmiah di bidang hukum menyatakan SE setara dengan nota dinas. Sifat nota dinas hanya sebagai panduan teknis, sementara yang boleh menyanksi adalah Peraturan Daerah (Perda) yang disahkan DPRD selaku perwakilan rakyat.
GPS menyinggung, SE yang mampu menyaksi masyarakat tidak ayal sebuah sistem feodal. Sebab, kedaulatan menghukum ada di tangan raja. Sedangkan, dalam sistem demokrasi, kedaulatan ada di tangan rakyat melalui DPR/DPRD dengan produk hukum berupa UU atau Perda.
Lebih jauh, GPS menilai Bali sudah ‘overdosis’ aturan mengenai pengelolaan sampah/kebersihan mulai dari Perda, Pergub, Instruksi Gubernur, Keputusan Gubernur dan lainnya. Kata dia, Pemerintah Provinsi Bali hanya perlu mengoptimalkan aturan yang sudah ada, bukan menambah produk hukum atau acara seremonial lagi.
“Aturan yang dibuat itu sudah banyak sekali dari Perda, Pergub, SK Gubernur, Instruksi Gubernur, sekarang SE Gubernur. Aturannya, istilah saya, sudah overdosis. Kalau banyak yang memuji tidak apa-apa, saya bagian yang mengkritisi,” kata GPS.
Sementara itu, GPS mengajak Pemerintah Provinsi Bali agar tidak melihat plastik dari sudut ketakutan dan membuat aturan-aturan anti plastik. Kata dia, plastik adalah penyelamat hutan dari industri kertas di masa lalu.
“Plastik tidak untuk dibenci, namun untuk dikendalikan,” imbuhnya.
Sebelumnya, Gubernur Bali Wayan Koster mengeluarkan SE Nomor 09 Tahun 2025 yang dinilai kontroversial lantaran melarang produksi dan distribusi air minum dalam kemasan (AMDK) plastik sekali pakai bervolume di bawah satu liter di Provinsi Bali.
SE ini mendapat dukungan Kementerian Lingkungan Hidup, namun dianggap kontraproduktif dengan perkembangan usaha oleh Kementerian Perindustrian. Selain polemik karena pertemuan isu lingkungan dan ekonomi, GPS menambah kejanggalan hukum SE tersebut. *rat
GPS menilai SE Gerakan Bali Bersih Sampah mengikari perundang-undangan. Sebab, di dalam SE tersebut terdapat sanksi apabila melanggar larangan yang juga terdapat di SE yang sama. Kata dia, SE tidak boleh memuat sanksi sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
“Secara undang-undang di SE itu ngomongin sanksi yang sebenarnya tidak boleh ada, saya siap debat soal itu. Mungkin bagus juga kalau ada Pokli Gubernur Bidang Hukum di sini, jadi diskusinya lebih tajam,” ungkap GPS di Ruang Audiovisual, Dharmanegara Alaya.
Politisi Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) kelahiran Singaraja, Buleleng ini menegaskan bahwa UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah standar pembuatan peraturan undang-undang RI. GPS mengklaim, SE, menurut UU ini tidak termasuk dalam rumpun peraturan perundang-undangan yang boleh memuat sanksi.
“Kalau SE dipakai mengikat apalagi menyanksi warga masyarakat itu salah. Makanya saya tetap bawa itu minuman botol (plastik) di bawah satu liter. Kalau saya ditangkap, saya gugat,” tegas GPS.
Eks Ketua Tim Strategis Pemenang Mulia-PAS ini menjelaskan bahwa jurnal-jurnal ilmiah di bidang hukum menyatakan SE setara dengan nota dinas. Sifat nota dinas hanya sebagai panduan teknis, sementara yang boleh menyanksi adalah Peraturan Daerah (Perda) yang disahkan DPRD selaku perwakilan rakyat.
GPS menyinggung, SE yang mampu menyaksi masyarakat tidak ayal sebuah sistem feodal. Sebab, kedaulatan menghukum ada di tangan raja. Sedangkan, dalam sistem demokrasi, kedaulatan ada di tangan rakyat melalui DPR/DPRD dengan produk hukum berupa UU atau Perda.
Lebih jauh, GPS menilai Bali sudah ‘overdosis’ aturan mengenai pengelolaan sampah/kebersihan mulai dari Perda, Pergub, Instruksi Gubernur, Keputusan Gubernur dan lainnya. Kata dia, Pemerintah Provinsi Bali hanya perlu mengoptimalkan aturan yang sudah ada, bukan menambah produk hukum atau acara seremonial lagi.
“Aturan yang dibuat itu sudah banyak sekali dari Perda, Pergub, SK Gubernur, Instruksi Gubernur, sekarang SE Gubernur. Aturannya, istilah saya, sudah overdosis. Kalau banyak yang memuji tidak apa-apa, saya bagian yang mengkritisi,” kata GPS.
Sementara itu, GPS mengajak Pemerintah Provinsi Bali agar tidak melihat plastik dari sudut ketakutan dan membuat aturan-aturan anti plastik. Kata dia, plastik adalah penyelamat hutan dari industri kertas di masa lalu.
“Plastik tidak untuk dibenci, namun untuk dikendalikan,” imbuhnya.
Sebelumnya, Gubernur Bali Wayan Koster mengeluarkan SE Nomor 09 Tahun 2025 yang dinilai kontroversial lantaran melarang produksi dan distribusi air minum dalam kemasan (AMDK) plastik sekali pakai bervolume di bawah satu liter di Provinsi Bali.
SE ini mendapat dukungan Kementerian Lingkungan Hidup, namun dianggap kontraproduktif dengan perkembangan usaha oleh Kementerian Perindustrian. Selain polemik karena pertemuan isu lingkungan dan ekonomi, GPS menambah kejanggalan hukum SE tersebut. *rat